Sunday, April 10, 2016

GEJOLAK BATIN “HAMIDAH” DALAM NOVEL KEHILANGAN MESTIKA

GEJOLAK BATIN “HAMIDAH” DALAM NOVEL
KEHILANGAN MESTIKA
Oleh    : Metri Nurjamilah

            Berbicara masalah Psikologi sastra berarti berbicara mengenai ilmu jiwa yang terdapat di dalam karya sastra. Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Psikologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ilmu jiwa sedangkan satra Sastra menurut Renne Wellek dan Austin Warren adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni. Seperti novel Kehilangan Mestika (KM) karya Hamidah, novel ini lahir pada tahun 30an dan sampai saat ini masih banyak di cetak, cetakan buku yang kami rujuk yaitu tahun 2011. Dalam novel ini Hamidah melalui tokoh Hamidah begitu banyak kesedihan. Sesuai dengan tema novel, dalam sebuah cerita tema tidak disebutkan secara langsung tetapi melalui pemahaman dari isi cerita dan kita dapat menyimpulkan sebuah tema yang terdapat dalam cerita. Tema yang terkandung dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah kesedihan yang mendalam. Sudah jelas sekali diceritakan bahwa disitu Hamidah berkali-kali kehilangan orang yang amat disayanginya yaitu, ayahnya, Ridhan, kemudian Idrus.
            Buku berjudul Hamidah ini adalah karya hamidah yang sebenarnya adalah nama samaran dari Fatimah Hasan Delais. Hamidah dilahirkan di Bangka (Palembang) tanggal 8 Juni 1914. Ia berasal dari Bangka dan semasa hidupnya bekerja sebagai guru sesudah lepas sekolah Normal Gadis di Padang Panjang. Kecuali, menulis prosa, ia juga menulis puisi yang dimuat dalam Pandji Pustaka dan Pudjangga Baru. Ia meninggal tanggal 8 Mei 1953 di Palembang dalam usia 38 tahun. Novelnya Kehilangan Mestika mengandung unsur-unsur biografis. Salah satu contohnya yaitu tempat yang dalam novel. Latar dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah di kampung halaman Hamidah yaitu di Muntok, Bangka Belitung. Berikut lebih rinci dengan latar yang Hamidah tuliskan dalam novel; Muntok, Bangka Belitung : tempat ayah dan Hamidah tinggal, Padang Panjang : tempat dimana Hamidah bersekolah di Normal Putri, Jakarta : Rumah saudara perempuan Hamidah, sungai liat, bangka : rumah Ridhan dan pamannya, pangkal Pinang : Rumah kediaman bibi dari Hamidah, Palembang : Tempat Hamidah dipindahkan kerjanya. Tempat tinggal Rusli bersama orang tuanya setelah ia menikah, kapal Thedens : Kapal yang ditumpangi Hamidah dan Ridhan saat ke Palembang, danTalang Semut : Rumah sahabat Ridhan (Ahyar).
            Walaupun alur dalam novel maju, keahlian Hamidah dalam dalam membunyikan tahapan alur lumayan terlihat. Tahap pengenalan; tahap pengenalan dalam novel ini terdapat pada awal cerita yaitu di bab 1 yaitu terlihat pada prolog, “Aku berumur kira-kira 4 tahun, tatkala aku ditimpa malapetaka, yang tak kuketahui. Ibu yang kucintai, ibu yang wajib menjaga dan mendidik diriku, terpaksa menutup mata untuk selama-lamanya. Sebenarnya kami ada enam beradik, tetapi dua diantaranya telah meninggal sementara Ibu masih hidup. Dalam kami yang tinggal itu adalah tiga perempuan dan seorang laki-laki.[1] Pengenalan tokoh Ridhan, kawan semasa kecil Hamidah yang ia temui di Kelapa, suatu tempat perhentian yang terletak di pertengahan jalan antara Mentok dengan Pangkal Pinang.[2] Perkenalan tokoh Ahyar, seorang kawan Ridhan yang bekerja menjadi Komis di Douane.[3] Lalu pengenalan tokoh Anwar dan Idrus yang selalu menemani Hamidah mencari kawan kesana kemari.[4] Kemudian yang terakhir pengenalan tokoh Rusli yang dikenalkan oleh saudara Hamidah untuk dijodohkan untuk dirinya,[5] tahap konflik atau pertikaian; tahap konflik terjadi ketika Hamidah sedang menunggu-nunggu balasan surat Idrus yang tak kunjung tiba. Pada saat itu juga ia diminta saudaranya untuk segera menikah dengan Rusli. Sementara Hamidah bersikeras dalam hati ingin terus menunggu Idrus, orang yang ia cintai. Seperti pada kutipan berikut:
“Kupikir-pikir, tak dapat tiada orang yang dikatakan mereka itu, ialah rusli. Kalau sekiranya aku tolak permintaan mereka, aku akan terbuang dari saudaraku. Kuturut ya...aku bimbang, bingung, takut kalau-kalau kami tak dapat bersesuaian. Dalam pada itu, tampak olehku rupa Idrus, Idrus yang ku tunggu-tunggu dan membuka kebatanku, yang kukasihi! Ah! Tak mungkin! Aku tak mau! Aku mesti menunggu Idrus”[6]    

            Tahap komplikasi atau rumitan; tahap komplikasi yaitu pada saat akhirnya Hamidah menerima lamaran Rusli dengan berat hati karena dia mengira Idrus sudah tidak mencintai dirinya lagi. Hamidah pun mengirim surat ke Idrus dan memberitahu kabar tersebut. seperti ini kutipan suratnya:
sekarang kukatakan kepadamu bahwa surat inilah yang penghabisan dari sahabatmu dengan nama Hamidah. Aku akan memberikan jawaban ‘ya’ kepada saudaraku. Aku akan menerima permintaan orang itu. Maaf! Apakah gunanya aku mengharap-harapkan engkau, padahal engkau sendiri tak sudi menerima kedatanganku? Sekali lagi: maafkanlah aku! Selamatlah engkau! Biarlah, aku mencoba hidup dengan hati setengah, menjadi istri dari seorang lelaki yang tak pernah ku pandang sebagai seorang bakal suamiku.”[7]
            Tahap klimaks; tahap klimaks yaitu saat rumah tangga Hamidah sedang berbahagia karena Hamidah baru saja mendapatkan warisan dari Ridhan yang berupa uang kontan dan beberapa rumah. Tetapi ketika itu, saat Hamidah sudah mulai mencintai Rusli, ia malah minta untuk kawin lagi karena sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga mereka belum mempunyai keturunan. Seperti pada kutipan berikut:
“Pada suatu hari ia datang kepadaku. Diceritakannya bagaimana susahnya nanti, apabila kita tak ada keturunan. Sebab itu ia meminta kepadaku akan kawin sekali lagi dengan maksud akan mendapatkan anak. Setelah ku pikir benar-benar maksudnya, kuizinkan permintaannya itu asal saja ia berjanji anak itu nanti diserahkannya kepada jagaanku sedari lahirnya.”[8]

            Tahap krisis; Pada tahap konlik dimulai ketika Hamidah merasa kecewa dengan suaminya Rusli dan ia memutuskan untuk kembali ke Muntok, kampung halamannya dan bercerai dengan Rusli. Berikut kutipan ketika ketika Hamidah membuat keputusan :
“Rusli, sekarang aku akan mengeluarkan pikiranku. Engkau setuju atau tidak aku tak peduli. Aku merasa bahasa kita tak dapat lagi hidup bersama-sama sebagai suami-istri. Sebab itu apa gunanya kita masing-masing membiarkan diri kita dikebati oleh tali perkawinan? Marilah kita berdamai, melepaskan diri kita dari ikatan yang telah kita buat belasan tahun yang lalu. Kita sama-sama menanggung. Kesenangan dirimu tak sempurna. Akupun begitu pula. Oleh karena itu, aku minta sekali lagi kepadamu, supaya kita membebaskan diri kita dengan damai.”[9]

            Tahap peleraian; tahap peleraian adalah ketika Hamidah memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Muntok setelah bercerai dengan Rusli. Sudah 18 tahun dia meninggalkan kampungnya dan sudah banyak yang berubah, dan tahap penyelesaiannya ketika Hamidah kembali ke Muntok ia bertemu dengan Idrus yang masih bujang sedang sakit keras. Idrus menyatakan sesuatu kepada Hamidah di saat-saat terkahirnya sebelum meninggal, seperti pada kutipan berikut:
“Dah! A... ku merasa amat beruntung daat meninggal di hadapanmu. Aku tahu! Aku mesti mati. Maafkanlah kelalaianku dahulu menyia-nyiakan cintamu yang suci. Cukuplah aku menderita, aku menghukum diriku. Maafkanlah akan aku, terima kasih banyak”[10]
Setelah itu jadilah Hamidah hidup sendiran. Tidak lagi ditemani oleh orang-orang yang disayanginya. Selanjutnya, dengan banyaknya tokoh serta yang hadir serta penentuan watak tokoh yang menjelimet misalnya; Hamidah : wanita muda yang cantik, tidak terpengaruh oleh adat istiadat yang ada, baik hati, perduli terhadap sesama, dan sangat menyayangi ayahnya. Ia juga sosok wanita yang tegar dalam menerima cobaan, Ayah Hamidah : seorang yang baik pekertinya, selalu menasihati anaknya dengan wejangan yang bagus, Ridhan : laki-laki baik yang mencintai Hamidah sepenuh hati, seorang yatim piatu dan tinggal bersama Pamannya, Paman Ridhan : jahat. Sangat patuh terhadap adat istiadat yang berlaku, Idrus : seorang pemuda kurus, serta pucat sedikit, rupanya tak gagah, tetapi hatinya amat mulia. Perasaannya amat halus, kepandaiannya tentang musik amat sempurna. Penyabar, Anwar : sosok pria yang tangkas dan sigap. Pemboros. Sikapnya tidak lebih baik dari Idrus, Saudara perempuan Hamidah : baik tetapi sedikit licik karena menahan surat Idrus untuk Hamidah, dan Rusli : baik. Sangat mencintai Hamidah sepenuh hati, tidak membuat esensi cerita berkurang. Bahkan kerumitan itu di kemas oleh Hamidah menjadi menarik. Pembaca lebih teliti dalam membaca novelnya.
            Endaswara dalam Albertine Mendrop menyatakan bahwa psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.[11] Ada tiga cara pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra, dilakukan pemilihan karya sastra kemudian menentukan teori-teori psikologi yang relevan, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian. KM, dalam novel ini akan memakai metode “Telling dan Showing”yang artinya Telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada ekposisi dan komentar langsung dari pengarang dan Showing (tidak langsung) pengarang menempatkan diri diluar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada tokoh untuk menampilkan perwatankan mereka melalui dialog atau action artinya dapat ditafsirkan oleh pembaca masing-masing karena setiap pemahan pembaca berbeda.[12] metode ini akan lebih ditekankan terhadap showing karena  banyak sekali gejolak batin  Hamidah selaku tokoh utama dalam novel yang di ungkapkan melalui hatinya. Berikut kutipan dalam novel:
“Hari berleret-leret lalu, waktu datang dan pergi….dengan penghargaan besar, disertai hati cemas, aku menunggu kedatangan kabar dari Ridhan, dari sehari-kesehari, dari dari minggu sampai ke minggu, akhirnya berulan-bulan aku terpaksa juga menunggu….dengan amat kecewanya.”[13] (1)

“Ya, Tuhanku! ya, Rabbana! Aku mengucap syukur pada-Mu. Makin sunyi orang dikapal makin pedih rasa hatiku. Apakah jadiku nanti sekiranya aku tak dapat menaklukan perasaan yang amat merusakan hatiku itu?
Jasmaniku hidup tetapi rohaniku rusak binasa!
Bagaimanakah dan apa gunanya hidup dengan tak mempunyai sukma?
Hidup dengan tak bertujuan? Bukankah tujuan hidupku dahulu akan sehidup semati enggan Ridhan? Sekarang tempat yang dituju telah musnah.”[14](2)

Dari kedua kutipan di atas adalah gejolak batin Hamidah ketika Ridhan sudah tak lagi menghubunginya pada kutipan (1) dan kutipan (2) pada saat Ridhan sudah meninggal. Kami anggap sebagai gejolak batin karena memang pada kutipan (1) sudah jelas jika dia sedang menantikan surat yang membuat hati Hamidah cemas, sedangkan kutipan (2) Hamidah memikirkan hal yang belum terjadi.
“Semalam-malaman itu hampir aku tak tertidur memikirkan soal itu. Akan kupilih Anwar, terlihat-lihat olehku rupa Idrus.”[15]

“Akan memilih Idrus Terbayang-bayang pula olehku Anwar.”[16]

Kutipan di atas adalah gejolak Hamidah ketika dia sudah mulai melupakan Ridhan dan sekarang dia bingung untuk memilih cinta berikutnya.

“Aku kehilangan dahan gantungan, seorang yang menjaga diriku, menanggung baik jahatnya perbuatanku.”[17]

Kutipan diatas yaitu kutipan ketika Hamidah kehilangan ayahnya (meninggal)
“Heran aku memikirkan hal ini. Sakitkah ia? Sudah kena pengaruh bibinyakah ia? Bibi yang dalam segalaha hal benci kepadaku? Atau…disengajakannyakah akan mempermainkan daku?  Tapi biarlah aku sabar. Aku tunggu barang seminggu lagi.  Kalau tak ada juga akan kuusahakan mencari keterangan.”[18]

Kutipan diatasn menjadi gejolak hati Hamidah ketika sedang menunggu surat dari Idrus kekasihnya.
“O, dunia! Engkau begitu sempit rasanya bagiku! Supaya hal ku jangan dilihat dan diketahui orang, kupadamkan lampu di kamarku. Berjam-jam aku duduk tak tentu pikiran atau pun perbuatan.
Mengapa aku? Air mataku mengalir dengan tak kuketahui. Entah apa sebabnya.”[19]

            Kutipan di atas adalah ketika Hamidah merasa marah terhadap saudaranya yang telah menyembunyikan surat dari Idrus. selain kutipan gejolak hati Hamidah yang setiap kehidupannya penuh dengan masalah batin seperti cintanya terhadap Ridhan, cintanya terhadap Idrus bahkan Hamidah juga memiliki gejolak batin adat istiadat, Hamidah merasa gerah terhadap pandangan bahwa wanita itu hanya di rumah saja, tidak boleh mencari nafkah, jalan dengan laki-laki pun dianggap perbuatan haram belaka. Berikut kutipannya:
“Pada permulaannya kami dikatakan orang perempuan “kafir” sebab sudah berjalan ke sana kemari,”[20]

“katakana apa yang akan mereka katakan.”kataku kepada kaum keluargaku. “mengapa kita kan malu mencari nafkah kita dengan jalan yang halal?”[21]


“Karena bapakku tiap-tiap hari menjemputku kesekolah, ia dipandang orang kebelanda-belandaan, sebab menurut pengetahuan orang-orang itu hanya orang kulit putih yang beradat demikian.
Karena rumah di kebun kami dekat laut, boleh dikatakan hampir tiap-tiap hari Minggu kami pergi kesitu dengan membawa makanan-makanan. Ini pun menjadikan cacian pula bagi kami, apalagi dilihat kami laki-laki perempuan bercampur gaul saja.”[22]

            Dari kutipan diatas dapat kita lihat bahwa ketika Hamidah dengan ayahnya sering jalan pun menjadi salah tanggapan para tetangganya. Bahkan ayah Hamidah di pecat dari khatib dan anggota dari dewan agama karena masyarakat tidak suka pola pikir Hamidah.
“Mendengar ini insyaflah kami akan kesalahan kami. Kami lupa bahasa anak-anak perempuan diegeri kami, manakala sudah besar sedikit, tak boleh lagi keluar rumah. Usahakan berjalanan,  memperlihatkan diri dari jalan saja tak boleh. Adat pingitan….! Mereka mesti menunggu-nunggu saja di rumah sampai kepada waktunya dipinang orang.”[23]

           Dalam novel ini Hamidah menggunakan gaya bahasa sehari-hari, hanya saja dalam novel ini terdapat kata-kata kiasan. Berikut kutipannya:
Disangka panas sampaikan petang kiranya hujan di tengah hari. [24]
            Berbicara bahasa sehari-hari saya jadi ingat novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer sekilas memang karya sastra ini berbeda zaman tetapi ketika meneliti psikologi sastra di dalamnya ada beberapa kemiripan pada tokoh utama yang selalu mengalami kesedihan. Tokoh utama dalam novel karya sudah jelas di gambarkan secara gambling gejolak jiwanya, sebagai contoh saya kutip dari gejolak jiwa tokoh utama roman ini.
“Tapi suaranya hampa. Dan ada terasa olehku ia tak percaya pada suara yang diucapkannya sendiri. kami berdiam diam lagi. Dan tiap kepala membayangkan tubuh ayah yang menggelepak di ranjang rumah sakit seperti sebilah papan.”[25]

Selain itu, sudut pandang dalam karya sastra ini menggunkan sudut pandang yang sama. sudut pandang yang digunakan dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu. Contohnya ada pada kalimat berikut ini: “dia lebih malang daripadaku. Ia adalah anak yang sulung dan bungsu. Ibunya meninggal ketika ia lahir ke dunia. Bapaknya pada beberapa tahun lalu telah berpulang pula.”
Sekilas mengingat isi novel ini menceritakan seorang Hamidah diri pengarang sendiri yang membuka jalan bagi kaumnya di negerinya, Muntok. Kemudian ia dipindahkan ke Palembang. Dalam perjalananya kapal Muntok-Palembang, terjadilah ikatan sehidup semati dengan Ridhan. Hubungan itu tidak disetujui paman Ridhan, dan Hamidah menerimanya akibatnya kena tipu sehingga pekerjaanya pada gebernumen terlepas, dan Ridhan meninggal oleh pamannya.
Kembalilah ia ke Muntok dalam keadaan sakit rohani jasmani. Di Muntok ia aktif lagi. Ketika dua orang pemuda, Anwar dan idrus mencintai sekaligus, ia telah memilih Idrus. Ia dan Idrus kemudian berusaha sehingga Anwar berjodoh dengan Rukiah. Dengan kematian ayahnya, nasib Hamidah menjadi berubah. Ia harus ikut saudaranya ke Jakarta. Karena taktik saudaranya itu, gagalah cita-citanya untuk hidup bersama dengan Idrus. Dikawinkanlah ia dengan Rusli, dengan susah payah, akhirnya hamidah berhasil memindahkan cintanya pada Rusli. Tetapi bersama dengan keberhasilan itu, ia mesti kehilangan Rusli karena yidak mempunyai anak. Atas permintaan sendiri ia bercerai dengan Rusli, karena merasa tak ada lagi gunannya diikat tali perkawinan. Rusli telah berbahagia dengan istri muda dan anaknya. Pulanglah Hamidah ke Muntok dengan membawa keremukan hati tak terkira. Dirinya sudah tua hidup sendiri, terpisah dari  yang dikasihi dan mengasihi, karena Idrus yang memilih tidak kawin setelah putus dengan Hamidah, baru saja meninggal.
           Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku ini adalah sebagai berikut :
1.      Amanat tersurat yang ditulis oleh Hamidah dalam novelnya yaitu, “janganlah hendaknya seorang pemimpin mempergunakan pangkat itu untuk mendapat kemuliaan, penghormatan, ataupun penambahan padat kantung sendiri. Bukan rakyat bagi pemimpin, tetapi pemimpin bagi rakyat”.
2.      Ada pula amanat tersurat yang dikemukakan penulis dalam tulisannya, yaitu, “begitu sendiri, aku percaya, bahwa dunia ini penuh dengan kesenangan, kegembiraan, tetapi tak kurang pula kebalikannya. Kesenangan itu tersedia bagi orang yang tak membiarkan kesempatan untuk mengecapnya lalu saja dan mereka yang memang sudah ditetapkan oleh Tuhan untuk mendapatkannya. Tetapi dalam pada itu, tak mungkin rasanya ada orang yang seumur hidupnya tak pernah dijelangi oleh kesukaan”
            Dapat disimpulkan bahwa novel Kehilangan Mestika karya Hamidah memilki nilai rasa dan gejolak batin yang sangat kuat. Pandanganini di relevansikan dengan fakta-fakta yang ada dalam monolog Hamidah di dalam novel tersebut (berbicara sendiri di dalam hati) mengenai permasalahannya.





[1]Hamidah. Kehilangan Mestika. (Jakarta: Balai Pustaka). 2011 hal. 1
[2] Ibid hal. 13
[3]Ibid hal.36
[4]Ibid hal.48
[5]Ibid hal.76
[6]Ibid hal.83
[7]Ibid hal. 85
[8]Ibid hal.94
[9]Ibid hal. 97
[10]Ibid hal.100
[11] Albertine Minderop. Psikologis sastra “Karya sastra, metode, teori, dan contoh kasus”. (Jakarta: yayasan obor Indonesia). 2011. h.59
[12] Ibid hal.80
[13] Op cit  hal.42
[14] Ibid hal.46
[15] Ibid hal.59
[16] Ibid hal.60
[17] Ibid hal.66
[18] Ibid hal.68
[19] Ibid hal.71-72
[20] Ibid hal.27
[21] Ibid hal.27
[22] Ibid hal.19
[23] Ibid hal.49
[24] Ibid hal.27
[25] Pramoedya Ananta Toer. Bukan Pasar Malam. (Jakarta Timur: Lentera Dipantara. 2010), cet-IX, h.40

No comments:

Post a Comment