GEJOLAK BATIN “HAMIDAH”
DALAM NOVEL
KEHILANGAN MESTIKA
Oleh
: Metri Nurjamilah
Berbicara masalah Psikologi sastra
berarti berbicara mengenai ilmu jiwa yang terdapat di dalam karya sastra.
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ilmu jiwa sedangkan satra Sastra
menurut Renne Wellek dan Austin Warren adalah kegiatan kreatif sebuah karya
seni. Seperti novel Kehilangan Mestika (KM) karya Hamidah, novel
ini lahir pada tahun 30an dan sampai saat ini masih banyak di cetak, cetakan
buku yang kami rujuk yaitu tahun 2011. Dalam novel ini Hamidah melalui
tokoh Hamidah begitu banyak kesedihan. Sesuai dengan tema novel, dalam sebuah
cerita tema tidak disebutkan secara langsung tetapi melalui pemahaman dari isi
cerita dan kita dapat menyimpulkan sebuah tema yang terdapat dalam cerita. Tema
yang terkandung dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah kesedihan yang
mendalam. Sudah jelas sekali diceritakan bahwa disitu Hamidah berkali-kali
kehilangan orang yang amat disayanginya yaitu, ayahnya, Ridhan, kemudian Idrus.
Buku berjudul Hamidah ini
adalah karya hamidah yang sebenarnya adalah nama samaran dari Fatimah Hasan
Delais. Hamidah dilahirkan di Bangka (Palembang) tanggal 8 Juni 1914. Ia
berasal dari Bangka dan semasa hidupnya bekerja sebagai guru sesudah lepas
sekolah Normal Gadis di Padang Panjang. Kecuali, menulis prosa, ia juga menulis
puisi yang dimuat dalam Pandji Pustaka dan Pudjangga Baru. Ia meninggal tanggal
8 Mei 1953 di Palembang dalam usia 38 tahun. Novelnya Kehilangan Mestika
mengandung unsur-unsur biografis. Salah satu contohnya yaitu tempat yang dalam
novel. Latar dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah di kampung halaman
Hamidah yaitu di Muntok, Bangka Belitung. Berikut lebih rinci dengan latar yang
Hamidah tuliskan dalam novel; Muntok, Bangka Belitung : tempat ayah dan Hamidah
tinggal, Padang Panjang : tempat dimana Hamidah bersekolah di Normal Putri, Jakarta
: Rumah saudara perempuan Hamidah, sungai liat, bangka : rumah Ridhan dan
pamannya, pangkal Pinang : Rumah kediaman bibi dari Hamidah, Palembang : Tempat
Hamidah dipindahkan kerjanya. Tempat tinggal Rusli bersama orang tuanya setelah
ia menikah, kapal Thedens : Kapal yang ditumpangi Hamidah dan Ridhan saat ke
Palembang, danTalang Semut : Rumah sahabat Ridhan (Ahyar).
Walaupun alur dalam novel maju, keahlian
Hamidah dalam dalam membunyikan tahapan alur lumayan terlihat. Tahap pengenalan;
tahap pengenalan dalam novel ini terdapat pada awal cerita yaitu di bab 1 yaitu
terlihat pada prolog, “Aku berumur kira-kira 4 tahun, tatkala aku ditimpa
malapetaka, yang tak kuketahui. Ibu yang kucintai, ibu yang wajib menjaga dan
mendidik diriku, terpaksa menutup mata untuk selama-lamanya. Sebenarnya kami
ada enam beradik, tetapi dua diantaranya telah meninggal sementara Ibu masih
hidup. Dalam kami yang tinggal itu adalah tiga perempuan dan seorang laki-laki.[1]
Pengenalan tokoh Ridhan, kawan semasa kecil Hamidah yang ia temui di Kelapa,
suatu tempat perhentian yang terletak di pertengahan jalan antara Mentok dengan
Pangkal Pinang.[2]
Perkenalan tokoh Ahyar, seorang kawan Ridhan yang bekerja menjadi Komis di
Douane.[3]
Lalu pengenalan tokoh Anwar dan Idrus yang selalu menemani Hamidah mencari
kawan kesana kemari.[4]
Kemudian yang terakhir pengenalan tokoh Rusli yang dikenalkan oleh saudara
Hamidah untuk dijodohkan untuk dirinya,[5] tahap
konflik atau pertikaian; tahap konflik
terjadi ketika Hamidah sedang menunggu-nunggu balasan surat Idrus yang tak
kunjung tiba. Pada saat itu juga ia diminta saudaranya untuk segera menikah
dengan Rusli. Sementara Hamidah bersikeras dalam hati ingin terus menunggu
Idrus, orang yang ia cintai. Seperti pada kutipan berikut:
“Kupikir-pikir, tak dapat tiada orang
yang dikatakan mereka itu, ialah rusli. Kalau sekiranya aku tolak permintaan
mereka, aku akan terbuang dari saudaraku. Kuturut ya...aku bimbang, bingung,
takut kalau-kalau kami tak dapat bersesuaian. Dalam pada itu, tampak olehku
rupa Idrus, Idrus yang ku tunggu-tunggu dan membuka kebatanku, yang kukasihi!
Ah! Tak mungkin! Aku tak mau! Aku mesti menunggu Idrus”[6]
Tahap komplikasi
atau rumitan; tahap komplikasi yaitu
pada saat akhirnya Hamidah menerima lamaran Rusli dengan berat hati karena dia
mengira Idrus sudah tidak mencintai dirinya lagi. Hamidah pun mengirim surat ke
Idrus dan memberitahu kabar tersebut. seperti ini kutipan suratnya:
“sekarang
kukatakan kepadamu bahwa surat inilah yang penghabisan dari sahabatmu dengan
nama Hamidah. Aku akan memberikan jawaban ‘ya’ kepada saudaraku. Aku akan
menerima permintaan orang itu. Maaf! Apakah gunanya aku mengharap-harapkan
engkau, padahal engkau sendiri tak sudi menerima kedatanganku? Sekali lagi:
maafkanlah aku! Selamatlah engkau! Biarlah, aku mencoba hidup dengan hati
setengah, menjadi istri dari seorang lelaki yang tak pernah ku pandang sebagai
seorang bakal suamiku.”[7]
Tahap klimaks; tahap klimaks yaitu saat rumah tangga Hamidah
sedang berbahagia karena Hamidah baru saja mendapatkan warisan dari Ridhan yang
berupa uang kontan dan beberapa rumah. Tetapi ketika itu, saat Hamidah sudah
mulai mencintai Rusli, ia malah minta untuk kawin lagi karena sudah sepuluh
tahun mereka berumah tangga mereka belum mempunyai keturunan. Seperti pada
kutipan berikut:
“Pada suatu hari ia datang kepadaku.
Diceritakannya bagaimana susahnya nanti, apabila kita tak ada keturunan. Sebab
itu ia meminta kepadaku akan kawin sekali lagi dengan maksud akan mendapatkan
anak. Setelah ku pikir benar-benar maksudnya, kuizinkan permintaannya itu asal
saja ia berjanji anak itu nanti diserahkannya kepada jagaanku sedari lahirnya.”[8]
Tahap krisis; Pada tahap konlik
dimulai ketika Hamidah merasa kecewa dengan suaminya Rusli dan ia memutuskan
untuk kembali ke Muntok, kampung halamannya dan bercerai dengan Rusli. Berikut
kutipan ketika ketika Hamidah membuat keputusan :
“Rusli, sekarang aku akan mengeluarkan pikiranku. Engkau setuju
atau tidak aku tak peduli. Aku merasa bahasa kita tak dapat lagi hidup
bersama-sama sebagai suami-istri. Sebab itu apa gunanya kita masing-masing
membiarkan diri kita dikebati oleh tali perkawinan? Marilah kita berdamai,
melepaskan diri kita dari ikatan yang telah kita buat belasan tahun yang lalu.
Kita sama-sama menanggung. Kesenangan dirimu tak sempurna. Akupun begitu pula.
Oleh karena itu, aku minta sekali lagi kepadamu, supaya kita membebaskan diri
kita dengan damai.”[9]
Tahap peleraian; tahap peleraian adalah ketika Hamidah memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya di Muntok setelah bercerai dengan Rusli. Sudah 18 tahun dia
meninggalkan kampungnya dan sudah banyak yang berubah, dan tahap
penyelesaiannya ketika Hamidah kembali ke Muntok ia bertemu dengan Idrus yang
masih bujang sedang sakit keras. Idrus menyatakan sesuatu kepada Hamidah di
saat-saat terkahirnya sebelum meninggal, seperti pada kutipan berikut:
“Dah! A... ku merasa amat beruntung daat meninggal di hadapanmu.
Aku tahu! Aku mesti mati. Maafkanlah kelalaianku dahulu menyia-nyiakan cintamu
yang suci. Cukuplah aku menderita, aku menghukum diriku. Maafkanlah akan aku,
terima kasih banyak”[10]
Setelah itu
jadilah Hamidah hidup sendiran. Tidak lagi ditemani oleh orang-orang yang
disayanginya. Selanjutnya, dengan banyaknya tokoh serta yang hadir serta
penentuan watak tokoh yang menjelimet misalnya; Hamidah : wanita muda
yang cantik, tidak terpengaruh oleh adat istiadat yang ada, baik hati, perduli
terhadap sesama, dan sangat menyayangi ayahnya. Ia juga sosok wanita yang tegar
dalam menerima cobaan, Ayah Hamidah : seorang yang baik pekertinya, selalu
menasihati anaknya dengan wejangan yang bagus, Ridhan : laki-laki baik yang mencintai
Hamidah sepenuh hati, seorang yatim piatu dan tinggal bersama Pamannya, Paman
Ridhan : jahat. Sangat patuh terhadap adat istiadat yang berlaku, Idrus :
seorang pemuda kurus, serta pucat sedikit, rupanya tak gagah, tetapi hatinya
amat mulia. Perasaannya amat halus, kepandaiannya tentang musik amat sempurna.
Penyabar, Anwar : sosok pria yang tangkas dan sigap. Pemboros. Sikapnya tidak
lebih baik dari Idrus, Saudara perempuan Hamidah : baik tetapi sedikit licik
karena menahan surat Idrus untuk Hamidah, dan Rusli : baik. Sangat mencintai
Hamidah sepenuh hati, tidak membuat esensi cerita berkurang. Bahkan kerumitan
itu di kemas oleh Hamidah menjadi menarik. Pembaca lebih teliti dalam membaca
novelnya.
Endaswara dalam Albertine Mendrop
menyatakan bahwa psikologi sastra adalah sebuah
interdisiplin antara psikologi dan sastra.[11] Ada tiga cara pemahaman
teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra,
dilakukan pemilihan karya sastra kemudian menentukan teori-teori psikologi yang
relevan, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian. KM, dalam
novel ini akan memakai metode “Telling dan Showing”yang artinya Telling
mengandalkan pemaparan watak tokoh pada ekposisi dan komentar langsung dari
pengarang dan Showing (tidak langsung) pengarang menempatkan diri diluar
kisahan dengan memberikan kesempatan kepada tokoh untuk menampilkan perwatankan
mereka melalui dialog atau action artinya dapat ditafsirkan oleh pembaca
masing-masing karena setiap pemahan pembaca berbeda.[12] metode ini akan lebih
ditekankan terhadap showing karena banyak sekali gejolak batin Hamidah selaku tokoh utama dalam novel
yang di ungkapkan melalui hatinya. Berikut kutipan dalam novel:
“Hari
berleret-leret lalu, waktu datang dan pergi….dengan penghargaan besar, disertai
hati cemas, aku menunggu kedatangan kabar dari Ridhan, dari sehari-kesehari,
dari dari minggu sampai ke minggu, akhirnya berulan-bulan aku terpaksa juga
menunggu….dengan amat kecewanya.”[13] (1)
“Ya,
Tuhanku! ya, Rabbana! Aku mengucap syukur pada-Mu. Makin sunyi orang dikapal
makin pedih rasa hatiku. Apakah jadiku nanti sekiranya aku tak dapat menaklukan
perasaan yang amat merusakan hatiku itu?
Jasmaniku
hidup tetapi rohaniku rusak binasa!
Bagaimanakah
dan apa gunanya hidup dengan tak mempunyai sukma?
Hidup
dengan tak bertujuan? Bukankah tujuan hidupku dahulu akan sehidup semati enggan
Ridhan? Sekarang tempat yang dituju telah musnah.”[14](2)
Dari kedua kutipan di atas adalah gejolak batin
Hamidah ketika Ridhan sudah tak lagi menghubunginya pada kutipan (1) dan
kutipan (2) pada saat Ridhan sudah meninggal. Kami anggap sebagai gejolak batin
karena memang pada kutipan (1) sudah jelas jika dia sedang menantikan surat
yang membuat hati Hamidah cemas, sedangkan kutipan (2) Hamidah memikirkan hal
yang belum terjadi.
“Semalam-malaman
itu hampir aku tak tertidur memikirkan soal itu. Akan kupilih Anwar,
terlihat-lihat olehku rupa Idrus.”[15]
“Akan
memilih Idrus Terbayang-bayang pula olehku Anwar.”[16]
Kutipan di atas
adalah gejolak Hamidah ketika dia sudah mulai melupakan Ridhan dan sekarang dia
bingung untuk memilih cinta berikutnya.
“Aku
kehilangan dahan gantungan, seorang yang menjaga diriku, menanggung baik jahatnya
perbuatanku.”[17]
Kutipan
diatas yaitu kutipan ketika Hamidah kehilangan ayahnya (meninggal)
“Heran aku memikirkan
hal ini. Sakitkah ia? Sudah kena pengaruh bibinyakah ia? Bibi yang dalam
segalaha hal benci kepadaku? Atau…disengajakannyakah akan mempermainkan
daku? Tapi biarlah aku sabar. Aku tunggu
barang seminggu lagi. Kalau tak ada juga
akan kuusahakan mencari keterangan.”[18]
Kutipan
diatasn menjadi gejolak hati Hamidah ketika sedang menunggu surat dari Idrus
kekasihnya.
“O, dunia! Engkau
begitu sempit rasanya bagiku! Supaya hal ku jangan dilihat dan diketahui orang,
kupadamkan lampu di kamarku. Berjam-jam aku duduk tak tentu pikiran atau pun
perbuatan.
Mengapa aku? Air
mataku mengalir dengan tak kuketahui. Entah apa sebabnya.”[19]
Kutipan di atas adalah ketika
Hamidah merasa marah terhadap saudaranya yang telah menyembunyikan surat dari
Idrus. selain kutipan gejolak hati Hamidah yang setiap kehidupannya penuh
dengan masalah batin seperti cintanya terhadap Ridhan, cintanya terhadap Idrus
bahkan Hamidah juga memiliki gejolak batin adat istiadat, Hamidah merasa gerah
terhadap pandangan bahwa wanita itu hanya di rumah saja, tidak boleh mencari
nafkah, jalan dengan laki-laki pun dianggap perbuatan haram belaka. Berikut
kutipannya:
“Pada permulaannya
kami dikatakan orang perempuan “kafir” sebab sudah berjalan ke sana kemari,”[20]
“katakana
apa yang akan mereka katakan.”kataku kepada kaum keluargaku. “mengapa kita kan
malu mencari nafkah kita dengan jalan yang halal?”[21]
“Karena
bapakku tiap-tiap hari menjemputku kesekolah, ia dipandang orang
kebelanda-belandaan, sebab menurut pengetahuan orang-orang itu hanya orang
kulit putih yang beradat demikian.
Karena
rumah di kebun kami dekat laut, boleh dikatakan hampir tiap-tiap hari Minggu
kami pergi kesitu dengan membawa makanan-makanan. Ini pun menjadikan cacian
pula bagi kami, apalagi dilihat kami laki-laki perempuan bercampur gaul saja.”[22]
Dari
kutipan diatas dapat kita lihat bahwa ketika Hamidah dengan ayahnya sering
jalan pun menjadi salah tanggapan para tetangganya. Bahkan ayah Hamidah di
pecat dari khatib dan anggota dari dewan agama karena masyarakat tidak suka
pola pikir Hamidah.
“Mendengar ini
insyaflah kami akan kesalahan kami. Kami lupa bahasa anak-anak perempuan
diegeri kami, manakala sudah besar sedikit, tak boleh lagi keluar rumah.
Usahakan berjalanan, memperlihatkan diri
dari jalan saja tak boleh. Adat pingitan….! Mereka mesti menunggu-nunggu saja
di rumah sampai kepada waktunya dipinang orang.”[23]
Dalam novel ini Hamidah menggunakan gaya
bahasa sehari-hari,
hanya saja dalam novel ini terdapat kata-kata kiasan. Berikut kutipannya:
Disangka panas
sampaikan petang kiranya hujan di tengah hari. [24]
Berbicara bahasa sehari-hari saya
jadi ingat novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer sekilas
memang karya sastra ini berbeda zaman tetapi ketika meneliti psikologi sastra
di dalamnya ada beberapa kemiripan pada tokoh utama yang selalu mengalami
kesedihan. Tokoh utama dalam novel karya sudah jelas di gambarkan secara
gambling gejolak jiwanya, sebagai contoh saya kutip dari gejolak jiwa tokoh
utama roman ini.
“Tapi suaranya hampa. Dan ada terasa olehku ia tak percaya pada
suara yang diucapkannya sendiri. kami berdiam diam lagi. Dan tiap kepala
membayangkan tubuh ayah yang menggelepak di ranjang rumah sakit seperti sebilah
papan.”[25]
Selain itu, sudut pandang dalam
karya sastra ini menggunkan sudut pandang yang sama. sudut pandang yang
digunakan dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah sudut pandang orang pertama
serba tahu. Contohnya ada pada kalimat berikut ini: “dia lebih malang daripadaku. Ia adalah anak yang sulung dan bungsu.
Ibunya meninggal ketika ia lahir ke dunia. Bapaknya pada beberapa tahun lalu
telah berpulang pula.”
Sekilas
mengingat isi novel ini menceritakan
seorang Hamidah diri pengarang sendiri yang membuka jalan bagi kaumnya di
negerinya, Muntok. Kemudian ia dipindahkan ke Palembang. Dalam perjalananya
kapal Muntok-Palembang, terjadilah ikatan sehidup semati dengan Ridhan.
Hubungan itu tidak disetujui paman Ridhan, dan Hamidah menerimanya akibatnya
kena tipu sehingga pekerjaanya pada gebernumen terlepas, dan Ridhan meninggal
oleh pamannya.
Kembalilah ia ke Muntok dalam
keadaan sakit rohani jasmani. Di Muntok ia aktif lagi. Ketika dua orang pemuda,
Anwar dan idrus mencintai sekaligus, ia telah memilih Idrus. Ia dan Idrus
kemudian berusaha sehingga Anwar berjodoh dengan Rukiah. Dengan kematian
ayahnya, nasib Hamidah menjadi berubah. Ia harus ikut saudaranya ke Jakarta.
Karena taktik saudaranya itu, gagalah cita-citanya untuk hidup bersama dengan
Idrus. Dikawinkanlah ia dengan Rusli, dengan susah payah, akhirnya hamidah
berhasil memindahkan cintanya pada Rusli. Tetapi bersama dengan keberhasilan
itu, ia mesti kehilangan Rusli karena yidak mempunyai anak. Atas permintaan
sendiri ia bercerai dengan Rusli, karena merasa tak ada lagi gunannya diikat
tali perkawinan. Rusli telah berbahagia dengan istri muda dan anaknya.
Pulanglah Hamidah ke Muntok dengan membawa keremukan hati tak terkira. Dirinya
sudah tua hidup sendiri, terpisah dari
yang dikasihi dan mengasihi, karena Idrus yang memilih tidak kawin
setelah putus dengan Hamidah, baru saja meninggal.
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku
ini adalah sebagai berikut :
1. Amanat tersurat yang ditulis oleh Hamidah dalam novelnya yaitu, “janganlah hendaknya seorang pemimpin
mempergunakan pangkat itu untuk mendapat kemuliaan, penghormatan, ataupun
penambahan padat kantung sendiri. Bukan rakyat bagi pemimpin, tetapi pemimpin
bagi rakyat”.
2. Ada pula amanat tersurat yang dikemukakan penulis dalam tulisannya,
yaitu, “begitu sendiri, aku percaya,
bahwa dunia ini penuh dengan kesenangan, kegembiraan, tetapi tak kurang pula
kebalikannya. Kesenangan itu tersedia bagi orang yang tak membiarkan kesempatan
untuk mengecapnya lalu saja dan mereka yang memang sudah ditetapkan oleh Tuhan
untuk mendapatkannya. Tetapi dalam pada itu, tak mungkin rasanya ada orang yang
seumur hidupnya tak pernah dijelangi oleh kesukaan”
Dapat disimpulkan bahwa novel Kehilangan
Mestika karya Hamidah memilki nilai rasa dan gejolak batin yang
sangat kuat. Pandanganini di relevansikan dengan fakta-fakta yang ada dalam
monolog Hamidah di dalam novel tersebut (berbicara sendiri di dalam hati)
mengenai permasalahannya.
[1]Hamidah.
Kehilangan Mestika. (Jakarta: Balai
Pustaka). 2011 hal. 1
[2]
Ibid hal. 13
[3]Ibid
hal.36
[4]Ibid
hal.48
[5]Ibid
hal.76
[6]Ibid
hal.83
[7]Ibid
hal. 85
[8]Ibid
hal.94
[9]Ibid
hal. 97
[10]Ibid
hal.100
[11]
Albertine Minderop. Psikologis sastra “Karya sastra, metode, teori, dan
contoh kasus”. (Jakarta: yayasan obor Indonesia). 2011. h.59
[12]
Ibid hal.80
[13] Op
cit hal.42
[14]
Ibid hal.46
[15]
Ibid hal.59
[16]
Ibid hal.60
[17]
Ibid hal.66
[18]
Ibid hal.68
[19]
Ibid hal.71-72
[20]
Ibid hal.27
[21]
Ibid hal.27
[22]
Ibid hal.19
[23]
Ibid hal.49
[24]
Ibid hal.27
[25]
Pramoedya Ananta Toer. Bukan Pasar Malam. (Jakarta Timur: Lentera
Dipantara. 2010), cet-IX, h.40
No comments:
Post a Comment